Dunia pendidikan Kota Padang makin carut-marut. Tata kesopanan dan sopan santun baik pelajar maupun pengajar semakin luntur. Bahkan rasa kesetiakawanan antar pelajar juga telah memudar. Setahun belakang, cukuplah sebagai cerminan kondisi tersebut. Setidaknya terjadi belasan puluhan kasus tawuran dan juga aksi unjuk rasa para pelajar. Berdasarkan catatan Padang Ekspres, di tahun 2007 terjadi tawuran siswa SMK Taman Siswa (Tamsis) dan SMK Adzkia Padang (7/2/07), tawuran siswa SMK Kartika dan SMK Muhammadiyah (28/8/07), tawuran ramai-ramai (6/9/07) siswa SMK Muhamadiyah II, SMA PGRI 2, SMA Labor, SMK Tamsis, SMK PGRI 6. Selain itu, aksi unjuk rasa siswa SMAN 2 Padang Januari 2007, aksi unjuk rasa siswa SMK Dhuafa atas pelaksanaan UN 2007, kasus peredaran narkoba oleh oknum wakil kepala sekolah, pemecatan guru Adabiah, hingga kekerasan guru terhadap siswa di SMA 3. Belum hitungan bulan, tahun ini tawuran kembali terulang.
Setidaknya dua tawuran telah terjadi. Pertama, tawuran siswa SMK 1 Padang vs SMA PGRI 6 di RTH Imam Bonjol (8/1), perampasan tas pelajar SMK 5 Padang oleh pelajar lain di depan Balaikota Padang (15/1). Bahkan, demo siswa Adabiah ke kepala sekolah meminta transparansi keuangan sekolah. Tak ketinggalan, guru Adabiah pun demo atas ketidakpuasan keputusan Yayasan, hingga akhirnya berujung pemecatan. Baru-baru ini, aksi unjuk rasa siswa kelas XII SMAN 8 Padang yang menuntut transparansi keuangan kepada Kepala Sekolah, seorang siswa dipukul guru hingga guru SMA 3 Padang memukul kepala sekolahnya.”Sejumlah kejadian memalukan dunia pendidikan ini perlu ditindaklanjuti Dinas Pendidikan dengan memberikan penyuluhan kepada guru tentang pengendalian diri dan ilmu pendidikan yang sesungguhnya sehingga kejadian ini tidak terulang lagi. Peristiwa ini terjadi dikarenakan rendahnya pengendalian diri dan pemahaman tentang ilmu pendidikan. Sehingga begitu terjadi suatu permasalahan akal sehatnya jadi tidak terkontrol dan melakukan tindak kekerasan,” ujar Pengamat Pendidikan, Prayitno yang dihubungi Padang Ekspres, Selasa (29/1). Hal ini juga dipicu karena sikap saling menghormati dan saling menghargai antara sesama yang menjadi ciri khas bangsa ini dahulunya sudah mulai memudar. Padahal, lanjut dosen Psikologi Pendidikan UNP ini, antara siswa dan guru serta antara guru dan guru masing-masingnya ingin dihargai. Hal ini tidak akan berjalan dengan baik jika masing-masingnya hanya ingin dihargai tanpa mau menghargai.
Guru sebagai orang yang memiliki ilmu dan menjadi contoh mesti menghormati siswanya. Sungguh pun siswa lebih kecil dari guru, seorang guru mesti memberikan siswa kesempatan untuk berbicara dan mengemukakan pendapatnya. Jika memang ia berlaku salah katakan dengan baik, arahkan, jangan langsung main kekerasan sebab bagaimanapun seorang guru tidak akan jadi guru jika tidak ada siswanya. Begitu pula sebaliknya, siswa sebagai orang yang membutuhkan ilmu dari guru juga harus menjaga sopan santun dalam berkata. Jangan melecehkan guru apalagi memancing emosinya. ”Jika guru tersebut tidak sesuai dengan ketentuan rundingkan dengan Kepala Sekolah (Kasek) untuk menyelesaikan permasalahannya. Ia juga berharap agar Dinas Pendidikan memikirkan jalan keluar permasalahan ini. Paling tidak lakukan pertemuan rutin dengan guru untuk mendengarkan permasalahan yang mereka hadapi di sekolah sehingga mereka tidak hanya merasakannya sendiri. Lebih baik lagi pertemuan ini dilengkapi dengan penyuluhan pendidikan bagi guru sebab setiap saat ilmu terus berkembang.
Untuk pemerintah, Prayitno berharap agar betul-betul memperhatikan profesionalisme seorang guru sebab selama ini ia menilai ilmu pendidikan kurang mendapat tempat sehingga seringkali diabaikan. Hal ini berakibat terhadap pendidikan, guru yang tidak mengerti ilmu pendidikan di berikan juga kesempatan mengajar alhasil mereka mengajar secara asal-asalan. Pengamat Pendidikan Agama Islam IAIN Iman Bonjol Padang Syafrudin Nurdin menganggap tidak mungkin seorang guru tidak memiliki ilmu pendidikan. Karena seorang guru telah menjalani ilmu pendidikan semasa kuliah dulunya. Selain itu, seorang guru juga mendapat kesempatan untuk penataran-penataran pendidikan lainnya. Hanya saja, kata Syafrudin, implementasi dari ilmunya tersebut tidak sepenuhnya di lapangan. Sehingga seorang guru mudah saja mendapatkan lonjakan emosional. Ini seharusnya diperhatikan bagi seorang guru. Terutama di depan anak didiknya. Sangat mustahil sekali seorang guru agama lulusan pendidikan agama mudah melakukan pemukulan kepada atasannya.
Mungkin saja bentrok ini dipicu adanya perselisihan pribadi antara kedua belah pihak. “Bentrok seorang guru dengan kasek bisa saja karena ada masalah pribadi kedua belah pihak di luar jam dinas atau di luar perhatian guru lainnya di lingkungan sekolah,” terang Syafrudin. Asumsi lain yang dikemukakan Syafrudin terhadap kasus guru ini, karena faktor kepemimpinan kepala sekolah. Seyogyanya seorang kasek menjadi leader di sekolah. Dengan kecakapan ini ia dapat menjadi panutan bagi bawahannya. Keahlian lain yang menjadi syarat bagi seorang kepala sekolah sebagai motivator, dan fasilitator. Kepala Dinas Pendidikan Kota Padang M Nur Amin mengatakan pihaknya dalam setiap pertemuan, sering menyampaikan kepada guru agar mendidik dengan cara persuasif. Jikapun ada siswa yang nakal, guru tidak boleh melakukan tindakan kekerasan, tetapi guru mestinya membimbing siswa tersebut dengan cara baik dan sopan. “Karena siswa harus didekatkan dengan bahasa-bahasa yang membina,” ujarnya.
Terkait dengan kasus pemukulan guru terhadap Kasek SMAN 3, Nur Amin berjanji akan menindaklanjuti kasus ini. Bahkan, Nur Amin telah memerintahkan tim dinas pendidikan yang terdiri dari Kabid Pendidikan Menengah dan juga pengawas mencari data-data latar belakang kasus tersebut. Tindakan hukum sesuai PP 30 tahun 1980 akan dikenakan kepada guru tersebut, jika ia terbukti bersalah. Saat ini, Nur Amin belum dapat menjawab sanksi apa yang diberikan, karena belum ada data yang menyatakan guru tersebut bersalah. Kasus ini, lanjut Nur Amin bisa jadi akibat tidak terkontrolnya emosi guru tersebut. Data di lapangan tersebut nantinya, ulas Nur Amin menjadi pertimbangan dan acuan untuk menindaklanjuti kasus ini. Dari data tersebut akan terlihat, apa latar belakang guru tersebut berbuat hal demikian. Ia berharap, kasus seperti ini tidak terulang lagi, dan jangan sampai ada yang memanasi-manasi agar persoalan ini menjadi besar,” (e-Newsletter Disdik)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
selama ini guru dan siswa berinteraksi hanya seperti pembeli dan penjual, sehingga ketika terjadi kesalahpahaman, maka yang muncul adalah arogansi. padahal, seharusnya interaksi yang terjadi adalah interaksi edukasi, dimana anak sedang belajar dan guru mendampingi/memfasilitasi anak dalam belajarnya. Jika terjadi insiden hingga guru ringan tangan atau siswa emosional, seharusnya kita kembalikan pada proporsional kita masing-masing.
bagus artikelnya
Posting Komentar